Pemerintah telah memblokir ribuan situs, menangkap sejumlah pelaku, dan melakukan berbagai kampanye anti-judi, namun keberadaannya tetap meresahkan. Ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa judol begitu sulit diberantas?
Salah satu faktor utamanya adalah kemajuan teknologi yang memudahkan pelaku judol untuk menyiasati sistem. Operator situs-situs tersebut kerap mengganti domain, menggunakan server luar negeri, dan menyebarkan promosi melalui media sosial atau aplikasi pesan pribadi. Mereka juga memanfaatkan transaksi digital anonim yang sulit dilacak. Dengan kecepatan adaptasi yang tinggi, para pelaku selalu selangkah lebih cepat dari upaya penindakan.
Selain itu, lemahnya penegakan hukum turut menjadi hambatan. Banyak kasus yang hanya ditangani di permukaan, tanpa menyentuh akar permasalahan atau jaringan besar di baliknya. Tak jarang pula hukuman yang diberikan tidak menimbulkan efek jera. Minimnya kerja sama lintas negara juga menyulitkan aparat dalam memburu pelaku yang beroperasi dari luar Indonesia. Akibatnya, pemberantasan kerap berujung pada tindakan simbolis saja.
Faktor lainnya adalah masih rendahnya literasi digital dan keuangan masyarakat. Banyak individu tergoda untuk mencoba judol karena promosi hadiah besar, tanpa memahami risiko kerugian dan konsekuensi hukumnya. Kurangnya edukasi membuat masyarakat mudah terjerat, dan dalam banyak kasus, mereka tidak tahu ke mana harus melapor atau mencari bantuan setelah menjadi korban.
Mengatasi tantangan ini membutuhkan pendekatan yang lebih menyeluruh dan berkelanjutan. Pemerintah perlu memperkuat kerja sama internasional, meningkatkan kapasitas aparat, dan memperbarui sistem pemantauan berbasis teknologi yang adaptif. Edukasi masyarakat juga tak kalah pentingnya, agar mereka bisa mengenali, menghindari, dan melaporkan aktivitas judol. Tanpa mimpi44 langkah yang sistematis dan kolaboratif, larangan judol hanya akan menjadi kebijakan di atas kertas.